RSS

Pages

followers on twitter

Berawal Dari Mimpi

“Kakak, kakak! coba lihat bintang disana!” teriak seorang bocah sambil menarik lengan kakaknya. Bocah itu bernama Ano, 11 tahun. (from; sarangimajinasi.blogspot.com)

“Kenapa? Tidak ada yang menarik...” ujar Adit, kakak Ano, sambil ikut menoleh ke atas.

“Ayolah kak, ini sangat indah!”

“Menurutku biasa saja,”

“Huh, andai saja aku bisa menggapai dan memetiknya, akan kubuktikan padamu kalau mereka sangat indah!”

“Bodoh, kau tidak mungkin bisa menggapai bintang. Mereka berada jauh diatas sana,” sahut Adit dengan dingin.

“Apa benar? Tapi—kita bisa kesana, kan?” tanya Ano dengan tampang polosnya.



“Hah, memangnya Kita siapa? Sadarlah, kita hanya anak jalanan. Bisa makan sehari sekali saja sudah senang,”

Ano mengkerutkan keningnya. Kemudian ia menarik napas panjang. “Tapi, aku yakin akan sampai kesana!” ucapnya dengan semangat.

“Dasar anak kecil, kau belum tahu apa-apa,” ujar Adit dengan suara kecil.



***



Esok harinya di Minggu pagi yang sejuk, Adit dan Ano bergegas untuk menghibur orang-orang yang mengunjungi taman tempat mereka biasa mengamen. Dengan cara seperti inilah mereka dapat bertahan hidup.

Dengan semangat, Ano melantunkan syair sebuah lagu dengan iringan ukulele yang dimainkan kakaknya. Seperti biasa, suara merdunya itu mengalihkan perhatian para pengunjung taman.

Tidak lama kemudian, orang-orang mulai berdatangan mengelilingi mereka. Terdengar jelas mereka saling berbisik tentang kekaguman mereka pada suara Ano.



“Terima kasih semuanyaa!” sahut Ano setelah lagu yang dibawakannya selesai

Orang-orang disekitar sana merasa cukup terhibur. Dengan tersenyum-senyum, mereka memasukkan uang kedalam kotak kecil yang telah disediakan Adit dan Ano.



“Sudah hampir siang, aku membeli makanan dulu, ya...” bisik Adit sambil menyerahkan ukulelenya pada Ano, “tunggu di sini, dan jangan kemana-mana!” tambahnya.

“Baiklah,” sahut Ano



Ano kemudian duduk di sebuah kursi taman sambil melihat anak-anak seusianya yang bermain-main bersama kedua orang tua mereka. Sesekali ia tersenyum saat memperhatikan kebersamaan keluarga-keluarga itu yang sebenarnya mulai membuatnya merasa iri.

Wajah Ano tampak semakin murung. Ia merasa iri dengan anak-anak yang berada di taman itu karena ia tidak memiliki orang tua seperti mereka. Ia hanya memiliki Adit.



“Kau tampak murung. Iri dengan anak-anak itu?” tanya seseorang tiba-tiba dari sebelah kanan Ano.

“E—eh?” Ano tampak terkejut setelah melihat seorang bocah yang tampak seusia dengannya itu tiba-tiba duduk di sebelahnya. “Iri? Aku tidak iri,” ucapnya.

“Jangan bohong. Aku saja iri. Bahkan sangat iri,” ujar bocah itu lagi sambil tersenyum kecil.



Ano hanya terdiam sambil memperhatikan bocah itu dengan teliti. Kemudian perhatiannya terpusat pada ukulele yang dibawa bocah itu.

“Kau mengamen di sini juga?” tanya Ano pada anak itu.

“Ya,” jawabnya. “Aku Raka. Namamu siapa?”

“Aku Ano,”

“Salam kenal Ano!”



“Kalau boleh tau, sejak kapan kau mengamen di tempat ini? Kenapa aku baru melihatmu hari ini?” tanya Ano.

“Aku memang baru mengamen hari ini,” jawabnya, “sebenarnya aku bukan pengamen. Aku hanya meminjam ukulele ini dari seseorang dan terpaksa mengamen karena sangat butuh uang.”

“Kau tahu cara memainkan ukulele?”

“Sedikit. Aku belajar dari orang-orang di panti asuhan tempatku,” jawabnya singkat. “Tapi mati aku jika mereka tahu bahwa aku mengamen.”

“Kenapa begitu?”

“Entahlah. Pihak panti asuhan tidak mengizinkan kami untuk mengamen ataupun sebagainya,”

“Tapi... kenapa kau melanggarnya?” tanya Ano lagi dengan penuh rasa penasaran.

“Adikku yang sedang dirawat di rumah sakit berulang tahun hari ini. Aku hampir lupa bahwa aku pernah berjanji untuk membelikan boneka beruang yang besar untuknya saat ia berulang tahun.”

“Kau sudah mendapatkan itu?”

“Sudah. Ini dia!” sahutnya sambil mengangkat kantong plastik yang sangat besar. Sejak tadi ia menyimpan kantong berisi boneka itu di bawah bangku taman. “Tapi aku mau beristirahat di sini dulu sebelum ke rumah sakit...”

“Bi..bisakah aku ikut bersamamu?” tanya Ano tiba-tiba.

“Kenapa kau ingin ikut? Sebenarnya sih tidak masalah, tapi...”

“Aku hanya ingin melihat wajah ceria dari anak yang beruntung...” potong Ano sambil tersenyum. “Boleh, kan?”

“Oh,” Raka kemudian beranjak dari tempat duduknya, “kalau begitu, tunggu apa lagi?”



***



Beberapa saat kemudian...



“Kau tidak mengerti apa yang kumaksud dengan ‘jangan kemana-mana’!?” teriak Adit sambil berlari menghampiri Ano. Sejak tadi ia mencari Ano yang menghilang selagi ia pergi membeli makanan.

“Ma..maafkan aku...” ucap Ano tanpa berani menatap mata kakaknya, “tadinya aku hanya ingin pergi sebentar. Ta..tapi,”

“Pergi sebentar!? Kau menghilang pagi tadi dan kembali sore ini! Apakah itu namanya ‘pergi sebentar’!?”

“Maafkan aku, kak...” ucap Ano sekali lagi, “a..aku... tadi aku sempat lupa jalan kembali ke tempat ini.”

“Memangnya kemana saja kau!?” teriak Adit dengan tatapan tajam. “Bagaimana jika terjadi apa-apa denganmu di saat aku tidak ada!?”

“Ka..kakak...” Ano kemudian membalas tatapan kakaknya dengan wajah memelas.



Sejenak suasana menjadi hening. Mereka berdua hanya berdiri dan terdiam.

“Ah, maaf...” ujar Adit tiba-tiba sambil membalikkan badannya.

“Eh? Kakak bilang apa?” Ano tampak kebingungan saat melihat sikap kakaknya yang tidak biasa itu.

“Aku bilang, ‘maaf’. Aku berlebihan,” jawab Adit tanpa berbalik sedikitpun. “Haha, aku bodoh. Apa lagi yang harus kutakutkan? Kau kan sudah ketemu...”

“Ma..maaf, kakak...” ucap Ano sambil menunduk.

“Sudahlah, lupakan...”



***



Malam telah larut. Ano sudah tertidur lelap meskipun malam ini mereka hanya tidur di sebuah rumah bekas yang sudah sangat rapuh.

Tiba-tiba, udara menjadi dingin dan bintang-bintang mulai tertutup awan. Adit yang tengah serius menatap bintang sambil melamun tiba-tiba teringat akan Ano yang tengah tidur di dalam rumah itu.

Adit melirik Ano yang mulai gelisah. Dengan cepat, Adit beranjak dan menghampiri adiknya itu.



Akhirnya hujan pun turun. Adit terkejut akan hal itu. Ditambah lagi terdapat banyak kebocoran pada atap rumah itu. Dengan spontan Adit langsung menggendong adiknya dan membawanya ke tempat teduh. Tentu saja ia tidak melupakan ukulelenya.



Tiba-tiba tubuh Ano menggigil. Adit pun segera menyelimuti adiknya dengan baju yang sedang ia kenakan.

“Ja..jangan pergi kak! Maafkan aku!” ucap Ano di luar kesadarannya.

“Ahahaha, kau mengigau, bocah...” ujar Adit.

“Ja..jangan tinggalkan aku, kak...” lagi-lagi ia mengigau.

“Meskipun sudah 11 tahun, kau masih perlu dimanja rupanya...” ujar Adit sambil tersenyum. Ia kemudian menarik napas panjang, “Tenang saja, aku takkan pernah meninggalkanmu,” tambahnya.



Tanpa terasa, hujan mulai reda. Adit yang sejak tadi menemani adiknya pun ikut tertidur.



***



Keesokan harinya, Raka kembali datang ke taman tempat Ano dan Adit biasa mengamen. Kali ini ia tidak membawa ukulele lagi.

“Hey, Ano!” teriaknya sambil berlari menghampiri Ano yang duduk di bawah lampu taman. “Sedang apa kau di bawah sana?”

Ano hanya melirik ke arah Raka tanpa melepaskan ekspresi murung di wajahnya.

“Ada apa?” tanya Raka sekali lagi.

Ano menarik napas panjang dan kemudian menghembuskannya. “Raka, apa benar mimpi itu hanya omong kosong?” tanyanya.

“Hah? Kata siapa? Kata kakak-kakak di panti asuhan, mimpi itu awal dari segalanya. Jadi tidak mungkin hanya omong kosong.”

“Entah mengapa kakakku tidak pernah percaya dengan mimpi.”

“Oh, jadi kakakmu yang mengatakan itu padamu?”

Ano mengangguk spontan, “Ya... karena itu, kami terus berdebat soal mimpi sejak pagi tadi.”

“Jangan kau pedulikan. Ia bersikap seperti itu kemungkinan besar karena sudah bosan bermimpi,” ujar Raka.

“Bosan bermimpi?”

“Ya, dalam arti lain, kakakmu itu memang tidak percaya dengan mimpi. Karena terlanjur kecewa. Tapi, aku berani bertaruh bahwa ia masih mempunyai mimpi.”

Ano sejenak menatap Raka. Lalu tersenyum.

“Aku senang bertemu denganmu,” ujarnya sambil tertawa kecil, “selama ini aku tidak pernah memiliki teman seorangpun.”

“Sekarang kau sudah punya,” ucap Raka sambil tersenyum.

“Oh, ya.. apa mimpimu?” tanya Ano pada Raka.

“Aku... aku ingin belajar dengan sungguh-sungguh agar suatu saat nanti aku bisa mendirikan perusahaan sendiri. Aku juga akan mengangkat Luna sebagai saudariku dan kami akan tinggal bersama saat telah sukses nanti.”

“Luna? Yang kemarin berulang tahun, kan?” tanya Ano, “bukankah dia memang adikmu?”

“Ya. Sebenarnya dia bukan adik kandungku. Ia hanya anak perempuan di panti asuhan yang selalu menempel padaku dan memanggilku kakak.”

“Hoo, adik angkat, ya...” ucap Ano sambil mengangguk paham.

“Lalu... bagaimana denganmu? Apa mimpimu?” Raka membalikkan pertanyaan kepada Ano.

“Aku ingin banyak hal! Terutama, aku ingin membahagiakan kakak, membuatnya bangga pada prestasiku, membelikan rumah untuk kami berdua, juga membuat kakak percaya pada mimpi,” jawab Ano mantap.

“Oh, sepertinya kakakmu beruntung memiliki adik sepertimu...” sahut Raka. “Ngomong-ngomong, ke mana dia sekarang?”

“Seperti kemarin, ia pergi untuk membeli makan siang. Tempatnya lumayan jauh dari taman ini,” jawab Ano lagi.

“Aku jadi ingin melihat seperti apa dia...”

“Tunggu saja, sebentar lagi dia pasti datang,” ujar Ano sambil tersenyum kecil.



***



“Nah! Itu dia!” seru Ano sambil menunjuk ke arah Adit yang sudah terlihat dari sebrang jalan.

“KYAAAAA!!!” tiba-tiba terdengar jeritan seorang wanita. Ternyata kereta bayinya tidak sengaja berguling sendiri menuju ke tengah jalan sementara sebuah mobil truk melaju kencang dari arah Timur.

Melihat hal itu, Adit yang berada tepat di pinggir jalan segera mendorong kereta bayi itu hingga sampai ke sebrang jalan. Hampir saja ia dan bayi di dalam kereta itu tertabrak.

“KAKAK! AWAAAS!” teriak Ano yang terkejut saat melihat sebuah mobil lagi yang melaju cepat dari arah barat.



Sekejap, seperti mimpi. Adit tertabrak. Ia tertabrak setelah mendorong kereta bayi itu agar sampai ke seberang, dan ia tertabrak sebelum ia menyelamatkan dirinya sendiri.

Ia mengalami luka parah pada bagian kepala, leher dan dadanya.

“KAKAAAK!!” teriak Ano histeris sambil berlari menghampiri jasad kakaknya. Air matanya mengalir deras. Tubuhnya gemetar. “BANGUNLAH, KAAAK!” teriaknya sekali lagi.

“Percuma, nak... kakakmu ini tidak bernyawa lagi,” ujar seorang wanita tua yang memegang lengan kiri Adit untuk memeriksa detak urat nadinya. “Aku turut berduka...”

“TI..TIDAK MUNGKIN!!” Ano semakin histeris. Ia memeluk sosok Adit dengan erat seolah enggan menyerahkan nyawa kakaknya itu. “KAKAK TIDAK MUNGKIN MENINGGALKANKU!!”



Nyawa Adit melayang di hadapan Ano. Tanpa salam perpisahan, tanpa pelukan terakhir. Ia pergi begitu saja.



Begitu berat rasanya menjadi seorang bocah yang harus menerima takdirnya secepat itu.



***



Kakak-beradik yang awalnya selalu bersama kini terpisah jauh. Hanya ukulele milik Adit yang menjadi satu-satunya kenang-kenangan berharga bagi Ano.



Demi masa depannya, Ano kini dibawa di panti asuhan tempat Raka dibesarkan. Ia berusaha untuk menjadi sukses demi membuktikan kepada kakaknya di alam sana, bahwa mimpi bukanlah omong kosong semata.

Ia berharap kakaknya dapat tersenyum dan tenang di alam sana.



Raka mengajak Ano untuk berjanji bahwa mereka akan sukses bersama kelak meskipun di tempat dan bidang yang berbeda. Sampai pada akhirnya lulus SMA, Ano berhasil memperoleh beasiswa untuk melanjutkan kuliah di Jerman. Sedangkan Raka, meskipun hanya kuliah di tanah kelahirannya yaitu Jakarta, ia tetap berusaha agar kelak menjadi sukses.



***



20 tahun kemudian ...



Hari ini bertepatan dengan hari kematian Adit pada 20 tahun yang lalu. Karena itu, Ano dan Raka mengadakan janji agar saling bertemu di taman tempat Ano dan Adit sering mengamen, sekaligus lokasi kematian Adit. Mereka akan memperingati hari kematian Adit.



“Kuharap dia tidak lama...” ujar Raka yang sedang berjalan di taman dengan pakaian formal serba hitam. Ia sekarang adalah direktur dari salah satu perusahaan di kota ini.

Ia duduk di tempat pertama ia bertemu Ano. Sambil menunggu temannya itu, ia sempat menghayal sebagian kecil dari kejadian yang merenggut nyawa Adit.



“Tempat ini tidak berubah, ya...” ujar seseorang tiba-tiba.

Raka kemudian menoleh ke sebelah kirinya. Tanpa ia sadari, seseorang telah duduk di sebelahnya dengan pakaian formal serba hitam pula.

“Kau tampak murung, teman...” ujar orang itu lagi sambil mengangkat ukulele milik Adit.

“Ahahaha, Ano! Sudah kuduga!” sahut Raka dengan girangnya sambil menepuk pundak teman lamanya itu.

“Kau baik-baik saja? Wah, sepertinya kau lebih sukses dari yang kubayangkan,” ujar Ano sambil tertawa keci.

“Ya, aku baik. Bagaimana denganmu, kawan?”

“Aku juga baik,” Ano kemudian menatap tepat pada posisi tertabraknya Adit.

“Kau masih ingat jelas rupanya...” sahut Raka yang menyadari tingkah Ano.

“Tentu saja. Aku bersumpah tidak akan melupakan satu hal pun yang menyangkut dengan dirinya.”

Raka hanya terdiam dan membiarkan Ano mengenang kakaknya lebih lama lagi.

“Menurutmu... ia bahagia?” tanya Ano tiba-tiba tanpa menoleh ke arah Raka.

“Tentu saja!” jawab Raka dengan spontan. “Dia akan sangat bahagia karena melihat adiknya yang sudah sukses ini!”

Ano terdiam sejenak. Kemudian tumbuhlah sedikit senyuman dari mulutnya. “Kau benar,” ujarnya.



***

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar