RSS

Pages

followers on twitter

Berawal Dari Mimpi

“Kakak, kakak! coba lihat bintang disana!” teriak seorang bocah sambil menarik lengan kakaknya. Bocah itu bernama Ano, 11 tahun. (from; sarangimajinasi.blogspot.com)

“Kenapa? Tidak ada yang menarik...” ujar Adit, kakak Ano, sambil ikut menoleh ke atas.

“Ayolah kak, ini sangat indah!”

“Menurutku biasa saja,”

“Huh, andai saja aku bisa menggapai dan memetiknya, akan kubuktikan padamu kalau mereka sangat indah!”

“Bodoh, kau tidak mungkin bisa menggapai bintang. Mereka berada jauh diatas sana,” sahut Adit dengan dingin.

“Apa benar? Tapi—kita bisa kesana, kan?” tanya Ano dengan tampang polosnya.



“Hah, memangnya Kita siapa? Sadarlah, kita hanya anak jalanan. Bisa makan sehari sekali saja sudah senang,”

Ano mengkerutkan keningnya. Kemudian ia menarik napas panjang. “Tapi, aku yakin akan sampai kesana!” ucapnya dengan semangat.

“Dasar anak kecil, kau belum tahu apa-apa,” ujar Adit dengan suara kecil.



***



Esok harinya di Minggu pagi yang sejuk, Adit dan Ano bergegas untuk menghibur orang-orang yang mengunjungi taman tempat mereka biasa mengamen. Dengan cara seperti inilah mereka dapat bertahan hidup.

Dengan semangat, Ano melantunkan syair sebuah lagu dengan iringan ukulele yang dimainkan kakaknya. Seperti biasa, suara merdunya itu mengalihkan perhatian para pengunjung taman.

Tidak lama kemudian, orang-orang mulai berdatangan mengelilingi mereka. Terdengar jelas mereka saling berbisik tentang kekaguman mereka pada suara Ano.



“Terima kasih semuanyaa!” sahut Ano setelah lagu yang dibawakannya selesai

Orang-orang disekitar sana merasa cukup terhibur. Dengan tersenyum-senyum, mereka memasukkan uang kedalam kotak kecil yang telah disediakan Adit dan Ano.



“Sudah hampir siang, aku membeli makanan dulu, ya...” bisik Adit sambil menyerahkan ukulelenya pada Ano, “tunggu di sini, dan jangan kemana-mana!” tambahnya.

“Baiklah,” sahut Ano



Ano kemudian duduk di sebuah kursi taman sambil melihat anak-anak seusianya yang bermain-main bersama kedua orang tua mereka. Sesekali ia tersenyum saat memperhatikan kebersamaan keluarga-keluarga itu yang sebenarnya mulai membuatnya merasa iri.

Wajah Ano tampak semakin murung. Ia merasa iri dengan anak-anak yang berada di taman itu karena ia tidak memiliki orang tua seperti mereka. Ia hanya memiliki Adit.



“Kau tampak murung. Iri dengan anak-anak itu?” tanya seseorang tiba-tiba dari sebelah kanan Ano.

“E—eh?” Ano tampak terkejut setelah melihat seorang bocah yang tampak seusia dengannya itu tiba-tiba duduk di sebelahnya. “Iri? Aku tidak iri,” ucapnya.

“Jangan bohong. Aku saja iri. Bahkan sangat iri,” ujar bocah itu lagi sambil tersenyum kecil.



Ano hanya terdiam sambil memperhatikan bocah itu dengan teliti. Kemudian perhatiannya terpusat pada ukulele yang dibawa bocah itu.

“Kau mengamen di sini juga?” tanya Ano pada anak itu.

“Ya,” jawabnya. “Aku Raka. Namamu siapa?”

“Aku Ano,”

“Salam kenal Ano!”



“Kalau boleh tau, sejak kapan kau mengamen di tempat ini? Kenapa aku baru melihatmu hari ini?” tanya Ano.

“Aku memang baru mengamen hari ini,” jawabnya, “sebenarnya aku bukan pengamen. Aku hanya meminjam ukulele ini dari seseorang dan terpaksa mengamen karena sangat butuh uang.”

“Kau tahu cara memainkan ukulele?”

“Sedikit. Aku belajar dari orang-orang di panti asuhan tempatku,” jawabnya singkat. “Tapi mati aku jika mereka tahu bahwa aku mengamen.”

“Kenapa begitu?”

“Entahlah. Pihak panti asuhan tidak mengizinkan kami untuk mengamen ataupun sebagainya,”

“Tapi... kenapa kau melanggarnya?” tanya Ano lagi dengan penuh rasa penasaran.

“Adikku yang sedang dirawat di rumah sakit berulang tahun hari ini. Aku hampir lupa bahwa aku pernah berjanji untuk membelikan boneka beruang yang besar untuknya saat ia berulang tahun.”

“Kau sudah mendapatkan itu?”

“Sudah. Ini dia!” sahutnya sambil mengangkat kantong plastik yang sangat besar. Sejak tadi ia menyimpan kantong berisi boneka itu di bawah bangku taman. “Tapi aku mau beristirahat di sini dulu sebelum ke rumah sakit...”

“Bi..bisakah aku ikut bersamamu?” tanya Ano tiba-tiba.

“Kenapa kau ingin ikut? Sebenarnya sih tidak masalah, tapi...”

“Aku hanya ingin melihat wajah ceria dari anak yang beruntung...” potong Ano sambil tersenyum. “Boleh, kan?”

“Oh,” Raka kemudian beranjak dari tempat duduknya, “kalau begitu, tunggu apa lagi?”



***



Beberapa saat kemudian...



“Kau tidak mengerti apa yang kumaksud dengan ‘jangan kemana-mana’!?” teriak Adit sambil berlari menghampiri Ano. Sejak tadi ia mencari Ano yang menghilang selagi ia pergi membeli makanan.

“Ma..maafkan aku...” ucap Ano tanpa berani menatap mata kakaknya, “tadinya aku hanya ingin pergi sebentar. Ta..tapi,”

“Pergi sebentar!? Kau menghilang pagi tadi dan kembali sore ini! Apakah itu namanya ‘pergi sebentar’!?”

“Maafkan aku, kak...” ucap Ano sekali lagi, “a..aku... tadi aku sempat lupa jalan kembali ke tempat ini.”

“Memangnya kemana saja kau!?” teriak Adit dengan tatapan tajam. “Bagaimana jika terjadi apa-apa denganmu di saat aku tidak ada!?”

“Ka..kakak...” Ano kemudian membalas tatapan kakaknya dengan wajah memelas.



Sejenak suasana menjadi hening. Mereka berdua hanya berdiri dan terdiam.

“Ah, maaf...” ujar Adit tiba-tiba sambil membalikkan badannya.

“Eh? Kakak bilang apa?” Ano tampak kebingungan saat melihat sikap kakaknya yang tidak biasa itu.

“Aku bilang, ‘maaf’. Aku berlebihan,” jawab Adit tanpa berbalik sedikitpun. “Haha, aku bodoh. Apa lagi yang harus kutakutkan? Kau kan sudah ketemu...”

“Ma..maaf, kakak...” ucap Ano sambil menunduk.

“Sudahlah, lupakan...”



***



Malam telah larut. Ano sudah tertidur lelap meskipun malam ini mereka hanya tidur di sebuah rumah bekas yang sudah sangat rapuh.

Tiba-tiba, udara menjadi dingin dan bintang-bintang mulai tertutup awan. Adit yang tengah serius menatap bintang sambil melamun tiba-tiba teringat akan Ano yang tengah tidur di dalam rumah itu.

Adit melirik Ano yang mulai gelisah. Dengan cepat, Adit beranjak dan menghampiri adiknya itu.



Akhirnya hujan pun turun. Adit terkejut akan hal itu. Ditambah lagi terdapat banyak kebocoran pada atap rumah itu. Dengan spontan Adit langsung menggendong adiknya dan membawanya ke tempat teduh. Tentu saja ia tidak melupakan ukulelenya.



Tiba-tiba tubuh Ano menggigil. Adit pun segera menyelimuti adiknya dengan baju yang sedang ia kenakan.

“Ja..jangan pergi kak! Maafkan aku!” ucap Ano di luar kesadarannya.

“Ahahaha, kau mengigau, bocah...” ujar Adit.

“Ja..jangan tinggalkan aku, kak...” lagi-lagi ia mengigau.

“Meskipun sudah 11 tahun, kau masih perlu dimanja rupanya...” ujar Adit sambil tersenyum. Ia kemudian menarik napas panjang, “Tenang saja, aku takkan pernah meninggalkanmu,” tambahnya.



Tanpa terasa, hujan mulai reda. Adit yang sejak tadi menemani adiknya pun ikut tertidur.



***



Keesokan harinya, Raka kembali datang ke taman tempat Ano dan Adit biasa mengamen. Kali ini ia tidak membawa ukulele lagi.

“Hey, Ano!” teriaknya sambil berlari menghampiri Ano yang duduk di bawah lampu taman. “Sedang apa kau di bawah sana?”

Ano hanya melirik ke arah Raka tanpa melepaskan ekspresi murung di wajahnya.

“Ada apa?” tanya Raka sekali lagi.

Ano menarik napas panjang dan kemudian menghembuskannya. “Raka, apa benar mimpi itu hanya omong kosong?” tanyanya.

“Hah? Kata siapa? Kata kakak-kakak di panti asuhan, mimpi itu awal dari segalanya. Jadi tidak mungkin hanya omong kosong.”

“Entah mengapa kakakku tidak pernah percaya dengan mimpi.”

“Oh, jadi kakakmu yang mengatakan itu padamu?”

Ano mengangguk spontan, “Ya... karena itu, kami terus berdebat soal mimpi sejak pagi tadi.”

“Jangan kau pedulikan. Ia bersikap seperti itu kemungkinan besar karena sudah bosan bermimpi,” ujar Raka.

“Bosan bermimpi?”

“Ya, dalam arti lain, kakakmu itu memang tidak percaya dengan mimpi. Karena terlanjur kecewa. Tapi, aku berani bertaruh bahwa ia masih mempunyai mimpi.”

Ano sejenak menatap Raka. Lalu tersenyum.

“Aku senang bertemu denganmu,” ujarnya sambil tertawa kecil, “selama ini aku tidak pernah memiliki teman seorangpun.”

“Sekarang kau sudah punya,” ucap Raka sambil tersenyum.

“Oh, ya.. apa mimpimu?” tanya Ano pada Raka.

“Aku... aku ingin belajar dengan sungguh-sungguh agar suatu saat nanti aku bisa mendirikan perusahaan sendiri. Aku juga akan mengangkat Luna sebagai saudariku dan kami akan tinggal bersama saat telah sukses nanti.”

“Luna? Yang kemarin berulang tahun, kan?” tanya Ano, “bukankah dia memang adikmu?”

“Ya. Sebenarnya dia bukan adik kandungku. Ia hanya anak perempuan di panti asuhan yang selalu menempel padaku dan memanggilku kakak.”

“Hoo, adik angkat, ya...” ucap Ano sambil mengangguk paham.

“Lalu... bagaimana denganmu? Apa mimpimu?” Raka membalikkan pertanyaan kepada Ano.

“Aku ingin banyak hal! Terutama, aku ingin membahagiakan kakak, membuatnya bangga pada prestasiku, membelikan rumah untuk kami berdua, juga membuat kakak percaya pada mimpi,” jawab Ano mantap.

“Oh, sepertinya kakakmu beruntung memiliki adik sepertimu...” sahut Raka. “Ngomong-ngomong, ke mana dia sekarang?”

“Seperti kemarin, ia pergi untuk membeli makan siang. Tempatnya lumayan jauh dari taman ini,” jawab Ano lagi.

“Aku jadi ingin melihat seperti apa dia...”

“Tunggu saja, sebentar lagi dia pasti datang,” ujar Ano sambil tersenyum kecil.



***



“Nah! Itu dia!” seru Ano sambil menunjuk ke arah Adit yang sudah terlihat dari sebrang jalan.

“KYAAAAA!!!” tiba-tiba terdengar jeritan seorang wanita. Ternyata kereta bayinya tidak sengaja berguling sendiri menuju ke tengah jalan sementara sebuah mobil truk melaju kencang dari arah Timur.

Melihat hal itu, Adit yang berada tepat di pinggir jalan segera mendorong kereta bayi itu hingga sampai ke sebrang jalan. Hampir saja ia dan bayi di dalam kereta itu tertabrak.

“KAKAK! AWAAAS!” teriak Ano yang terkejut saat melihat sebuah mobil lagi yang melaju cepat dari arah barat.



Sekejap, seperti mimpi. Adit tertabrak. Ia tertabrak setelah mendorong kereta bayi itu agar sampai ke seberang, dan ia tertabrak sebelum ia menyelamatkan dirinya sendiri.

Ia mengalami luka parah pada bagian kepala, leher dan dadanya.

“KAKAAAK!!” teriak Ano histeris sambil berlari menghampiri jasad kakaknya. Air matanya mengalir deras. Tubuhnya gemetar. “BANGUNLAH, KAAAK!” teriaknya sekali lagi.

“Percuma, nak... kakakmu ini tidak bernyawa lagi,” ujar seorang wanita tua yang memegang lengan kiri Adit untuk memeriksa detak urat nadinya. “Aku turut berduka...”

“TI..TIDAK MUNGKIN!!” Ano semakin histeris. Ia memeluk sosok Adit dengan erat seolah enggan menyerahkan nyawa kakaknya itu. “KAKAK TIDAK MUNGKIN MENINGGALKANKU!!”



Nyawa Adit melayang di hadapan Ano. Tanpa salam perpisahan, tanpa pelukan terakhir. Ia pergi begitu saja.



Begitu berat rasanya menjadi seorang bocah yang harus menerima takdirnya secepat itu.



***



Kakak-beradik yang awalnya selalu bersama kini terpisah jauh. Hanya ukulele milik Adit yang menjadi satu-satunya kenang-kenangan berharga bagi Ano.



Demi masa depannya, Ano kini dibawa di panti asuhan tempat Raka dibesarkan. Ia berusaha untuk menjadi sukses demi membuktikan kepada kakaknya di alam sana, bahwa mimpi bukanlah omong kosong semata.

Ia berharap kakaknya dapat tersenyum dan tenang di alam sana.



Raka mengajak Ano untuk berjanji bahwa mereka akan sukses bersama kelak meskipun di tempat dan bidang yang berbeda. Sampai pada akhirnya lulus SMA, Ano berhasil memperoleh beasiswa untuk melanjutkan kuliah di Jerman. Sedangkan Raka, meskipun hanya kuliah di tanah kelahirannya yaitu Jakarta, ia tetap berusaha agar kelak menjadi sukses.



***



20 tahun kemudian ...



Hari ini bertepatan dengan hari kematian Adit pada 20 tahun yang lalu. Karena itu, Ano dan Raka mengadakan janji agar saling bertemu di taman tempat Ano dan Adit sering mengamen, sekaligus lokasi kematian Adit. Mereka akan memperingati hari kematian Adit.



“Kuharap dia tidak lama...” ujar Raka yang sedang berjalan di taman dengan pakaian formal serba hitam. Ia sekarang adalah direktur dari salah satu perusahaan di kota ini.

Ia duduk di tempat pertama ia bertemu Ano. Sambil menunggu temannya itu, ia sempat menghayal sebagian kecil dari kejadian yang merenggut nyawa Adit.



“Tempat ini tidak berubah, ya...” ujar seseorang tiba-tiba.

Raka kemudian menoleh ke sebelah kirinya. Tanpa ia sadari, seseorang telah duduk di sebelahnya dengan pakaian formal serba hitam pula.

“Kau tampak murung, teman...” ujar orang itu lagi sambil mengangkat ukulele milik Adit.

“Ahahaha, Ano! Sudah kuduga!” sahut Raka dengan girangnya sambil menepuk pundak teman lamanya itu.

“Kau baik-baik saja? Wah, sepertinya kau lebih sukses dari yang kubayangkan,” ujar Ano sambil tertawa keci.

“Ya, aku baik. Bagaimana denganmu, kawan?”

“Aku juga baik,” Ano kemudian menatap tepat pada posisi tertabraknya Adit.

“Kau masih ingat jelas rupanya...” sahut Raka yang menyadari tingkah Ano.

“Tentu saja. Aku bersumpah tidak akan melupakan satu hal pun yang menyangkut dengan dirinya.”

Raka hanya terdiam dan membiarkan Ano mengenang kakaknya lebih lama lagi.

“Menurutmu... ia bahagia?” tanya Ano tiba-tiba tanpa menoleh ke arah Raka.

“Tentu saja!” jawab Raka dengan spontan. “Dia akan sangat bahagia karena melihat adiknya yang sudah sukses ini!”

Ano terdiam sejenak. Kemudian tumbuhlah sedikit senyuman dari mulutnya. “Kau benar,” ujarnya.



***

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Apa Kabar, Teman Lama?

Di sinilah aku. Di tempat yang luas dan gelap. Sepertinya ini bukan ruangan, karena sempat kuraba sesuatu seperti batang pohon. Aku hampir tidak dapat melihat apapun di sini. Kecuali sesosok gadis kecil yang saat ini sedang berlari-lari di hadapanku seolah menunjukkan jalan. Wajahnya samar, namun terlihat jelas rambutnya yang terhelai panjang dan suara tawanya yang terdengar familiar di telingaku.
“Kemarilah! Kemarilah!” bujuk gadis itu dengan riang sambil melambaikan tangan ke arahku.
Kedua kakiku tiba-tiba saja melangkah mengikutinya. Aku telah berusaha untuk menahannya, tapi entah mengapa kaki-kaki ini seperti memiliki pemikiran sendiri. Di samping itu, aku juga tidak dapat melakukan gerakan lain kecuali berjalan sesuai arah yang dilewati gadis itu. (from; sarangimajinasi.blogspot.com)

Akhirnya kaki-kakiku berhenti melangkah. Tepatnya di suatu tempat dimana gadis itu tiba-tiba lenyap dari pandanganku. Seiring dengan lenyapnya gadis itu, aku kemudian merasa seperti sedang ditarik oleh sesuatu. Bisa dikatakan seperti… jiwaku ditarik, tetapi tidak dengan jasadku.
Saat aku telah tertarik jauh ke atas, kulihat tubuhku sendiri—yang masih berinjak di tanah—tiba-tiba saja terjatuh. Kemudian aku beranikan diri untuk menoleh ke atas, dan yang kutemukan adalah sesosok gadis kecil yang tadi kulihat. Gadis itu-lah yang menarikku.
Aku menatap kedua matanya yang berwarna merah. Bibirnya yang pucat kemudian tersenyum kepadaku. Senyuman bahagia seperti mendapatkan sesuatu yang sangat diinginkannya.
Gadis ini menginginkanku.


“TOM!”
Tadi itu... mimpi?
Aku tidak dapat mengingat apapun dalam mimpi tadi. Yang jelas, aku tahu bahwa itu adalah mimpi buruk.

"HEI, TOM! BAGUNLAH!"
Mataku terasa sangat berat. Ingin rasanya mengacuhkan teriakan wanita cerewet itu, dan kembali tidur.
"Ayolah Marly… ini hari pertama. Terlambat pun tidak masalah..." kataku sambil memalingkan wajah darinya.
"Justru sebaliknya! Kau tidak boleh terlambat! Aku bingung, kau ini niat melanjutkan sekolah atau—"
"Ya, ya… aku bangun!" potongku sambil membuka mata selebar mungkin.
"Lima menit kemudian, kau sudah harus berada di ruang makan!" sahutnya sambil berjalan pergi.

Marly. Orang tuaku memberikan kepercayaan penuh kepadanya untuk mengurus rumah sejak aku masih kanak-kanak. Mereka lakukan itu karena terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka di London—entahlah apa yang mereka kerjakan di sana. Bahkan terakhir kali aku melihat mereka saat aku masih berusia 6 tahun. Jadi, begitulah... Marly mengurus rumah selama orang tuaku pergi. Dan sepertinya ia merasa sudah seperti menjadi ibu di sini.

Beberapa menit kemudian, aku keluar dari kamarku dan segera menuju ruang makan.
"Err—Marly, kau tahu di mana sepatuku? Saat terbangun, sepatu itu sudah tinggal sebelah. Aneh," ujar Eddie, adikku, sambil melirik ke arahku.
"Apa? Kau menuduhku?" tanyaku sambil menatapnya. "Biar ku tebak, kau tidur berjalan lagi dan membuang sepatu itu di suatu tempat, kan?"
"Lagi? sejak kapan aku punya hobi tidur berjalan!?"
"Itu bukan hobi, Ed... itu penyakit," kataku sambil tersenyum sinis.
"Aku tidak percaya. Tidak ada bukti."
"Haha, baiklah! Aku akan merekamnya malam ini!" kataku lagi sambil menepuk pundak Eddie. “Bagaimana menurutmu, Marly?”
Sekilas aku berbalik ke arah Marly, tapi dia tampak seperti tidak ingin membicarakan hal ini. Ia hanya terdiam dan menatap sinis ke arahku. Biarkan sajalah, ia memang selalu seperti ini tiap bulannya.

“Huh, ya sudah. Aku berangkat!” sahutku sambil beranjak dari meja makan.
Tidak lama kemudian, Eddie—yang mungkin saja baru selesai mengolah kata untuk membela dirinya—menyahut, "Kita lihat malam ini, Tom!"
"Baiklah, bocah!" teriakku tanpa menoleh ke arahnya.
Dia selalu saja begitu. Meskipun masih berusia 10 tahun, ia tidak sudi jika orang lain menganggapnya anak kecil.

***

Bel pulang akan berbunyi beberapa menit lagi. Syukurlah, karena aku hampir mati bosan di tempat ini. Aku bosan hanya duduk dan mendengar ocehan guru itu sambil terus melirik ke arah jam dinding—berharap agar jarum jam itu dapat berdetak lebih kencang lagi.
Ingin rasanya segera pergi dari tempat membosankan dengan orang-orang asing di dalamnya ini, dan kembali melanjutkan tidurku yang sempat Marly kacaukan.

"Tom!" teriak seseorang dari kejauhan saat aku baru saja melangkah keluar dari kelas. Aku mengacuhkannya karena kupikir masih ada Tom lain selain aku di sekolah ini.
"Tom Howard!"
Teriakan itu terdengar sekali lagi. Kini aku yakin bahwa panggilan itu memang ditujukan padaku.
Kemudian aku berbalik untuk mencari sumber suara itu. Ternyata dugaanku memang benar soal pemiliknya.
"Emmy?"
Gadis itu lalu berlari ke arahku, "Kebetulan sekali! Kita masuk ke SMU yang sama!" serunya.
"Hahaha, ada apa dengan Paris?" tanyaku sambil tersenyum kecil.
"Ah, aku lebih senang berada di New York," sahutnya sambil menarik tanganku. "Bagaimana kabar Eddie dan Marly? Boleh aku ikut pulang ke rumahmu? Aku sangat merindukan kaliaan!"
"Oh, boleh saja..."

Emily Winson. Teman kecilku. Pertama kali aku kenal dengannya pada saat aku masih di tahun pertama sekolah dasar. Gadis ini terus berbicara sepanjang jalan menuju ke rumahku.

Tanpa terasa, ternyata kami sudah sampai. Belum sempat melangkah turun dari dalam bus, aku langsung dikejutkan dengan adanya kebakaran di rumah yang terletak tepat di sebelah kiri rumahku.
Aku segera berlari melewati kerumunan orang-orang di sekitar rumah itu dan mencoba untuk melihat lebih dekat lagi.
"Jangan coba melewati batas, bocah..." ujar salah satu petugas pemadam kebakaran sambil mendorong tubuhku ke belakang.
"Di—di mana pemilik rumah ini!?" tanyaku pada petugas itu.
"Di rumah sakit. Lukanya cukup parah," jawabnya sambil berjalan pergi.

Perlahan aku melangkah mundur meninggalkan rumah itu. Meskipun begitu, aku tetap saja merasakan sesuatu. Seseorang seakan memanggilku dari dalam sana. Seseorang yang menjerit meminta tolong. Tapi entah orang lain menyadarinya atau itu memang hanya perasaanku saja.

***

Sudah pukul 7 malam. Hujan yang turun sejak pukul 4 sore tadi—dan turut membantu memadamkan api di rumah sebelah—tak kunjung berhenti sampai sekarang. Hujan itu malah semakin deras saja. Aku sedikit heran, tidak biasanya hujan turun di bulan ini.
"Bagaimana kalau kau menginap saja?" tanyaku sambil menghampiri Emmy yang sedang menonton TV bersama Eddie.
"Baiklah. Lagipula hujan masih deras,"
"Ini, pakailah..." kataku sambil menyerahkan sebuah sweater milikku kepadanya.
"Oh, terima kasih," sahut Emmy sambil tersenyum.

Beberapa saat kemudian, hujan berhenti. Eddie yang sejak tadi tampak serius langsung saja berlari keluar rumah tanpa berbicara sedikitpun. Padahal biasanya ia sangat berisik.
"Dia kenapa?" tanya Emmy kepadaku.
"Entahlah. Abaikan saja,"

Beberapa saat kemudian, Eddie kembali lagi. Kali ini wajahnya menjadi pucat.
“Sudah kuduga! Dia ada!” teriaknya tiba-tiba sambil berlari masuk ke dalam rumah.
“Hei, apa yang kau bicarakan?” tanyaku yang masih kebingungan sambil berjalan ke arahnya.
"Gadis itu! Dia berada di rumah yang sore tadi terbakar!"
Gadis itu?
Aku berlari keluar rumah tanpa pikir panjang. Yang membuatku penasaran setengah mati adalah ekspresi wajah Eddie. Tidak biasanya ia sepanik itu.
“Tom!” teriak Emmy memanggilku.
Aku sangat bingung sekaligus penasaran tentang apa yang dilakukan Eddie di rumah itu dan siapa gadis yang ia maksud. Aku mengabaikan Emmy yang berteriak memanggilku, dan segera memasuki rumah itu.
Tampak dari luar, rumah itu sudah sangat gelap. Hampir tidak terlihat apapun kecuali bagian kanannya—karena terkena sinar lampu dari rumahku.

Sreek, sreeek,
Seperti itulah suaranya. Sepertinya berasal dari pepohonan yang berada tepat di belakang rumah itu—dan rumahku, dan rumah di sebelah kanan rumahku.
Hutan kecil. Lebih tepatnya disebut begitu. Sebenarnya tidak kecil, tapi hutan ini juga tidak sebesar dan seluas hutan-hutan yang lain. Sewaktu kecil aku pernah sekali masuk ke dalam sana. Alhasil aku tidak berani lagi menginjakkan kaki ke tempat itu sampai sekarang. Entahlah, aku tidak ingat apapun yang terjadi saat masuk ke dalam sana. Yang jelasnya, aku selalu merasa takut pada hutan itu.

"Tolooong!” terdengar sebuah teriakan. Kali ini asalnya dari dalam rumah itu.
Eh, teriakan?
Jika Nyonya Ellis, wanita tua pemilik rumah ini—yang telah lama hidup sendiri—sedang berada di rumah sakit, mengapa masih ada seseorang lagi di dalam? Dan mengapa para petugas pemadam tidak menolongnya?
Ayolah, aku mengenal wanita tua itu selama 15 tahun. Dan yang aku tahu, dia selalu sendiri.

Perasaanku seketika menjadi tidak enak. Seperti sore tadi saat aku menyaksikan api yang melahap rumah itu. Sebenarnya aku merasa tidak begitu yakin dengan apa yang baru kudengar barusan. Tapi teriakan itu terdengar berulang kali. Kurasakan bulu kudukku merinding. Tapi sungguh, aku samasekali tidak merasa takut. Justru sebaliknya, aku malah merasa seseorang di dalam sana sangat membutuhkan pertolonganku.
Aku kemudian berjalan memasuki rumah itu sambil menggunakan penerangan dari layar ponselku. Tembok-tembok di dalam rumah itu masih berdiri—walaupun telah hangus dan rapuh.
Teriakan itu kemudian terdengar semakin dekat saat aku telah sampai pada sebuah ruangan—sepertinya kamar—yang terletak pada sudut kiri bagian belakang rumah. Aneh, dinding-dinding di kamar ini tampak lebih hitam dan lebih rapuh dibandingkan dengan ruangan-ruangan lainnya. Sepertinya api berasal dari sana.
Atap, lemari, dan beberapa benda lainnya—yang telah hangus terbakar—saling bertindihan tepat di tengah-tengah kamar ini. Aku mulai berpikir bahwa orang itu terjebak di bawah sini. Kurasa aku harus membuktikannya terlebih dahulu.
"Toloooong!" sekali lagi teriakan itu terdengar, dan ternyata memang benar, asalnya dari balik reruntuhan itu. Gadis kecil. Yah, akhirnya aku sadar bahwa itu terdengar seperti teriakan seorang gadis kecil. Sama seperti teriakan Emmy saat aku mengganggunya.

Jadi, Eddie... panik dan histeris hanya karena mendengar teriakan seorang gadis? Aku sendiri baru tahu bahwa ternyata adikku itu mudah panik.
Aku sesegera mungkin menyingkirkan benda-benda yang bertumpukan itu. Meskipun terlihat ringan karena telah hangus dan rapuh, tetap saja masih sulit untuk menyingkirkan benda-benda ini.

Tidak lama kemudian, aku akhirnya dapat membuka celah di antara tumpukan itu. Tangan yang berukuran lebih kecil dari tanganku tiba-tiba menyambut dari bawah sana, kemudian menggenggam pergelangan tangan kiriku. Terasa dingin. Bahkan sangat dingin. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana cara seorang gadis kecil bertahan di tempat seperti ini.
“Bersabarlah, sebentar lagi kau akan keluar dari sini,” ucapku kepada gadis yang sosoknya masih belum terlihat itu.

“KYAAA!” tiba-tiba terdengar jeritan yang melengking keras. Aku yang terkejut kemudian menoleh sebentar untuk mencari sumbernya.
Ah, apa yang kupikirkan? Persetan dengan jeritan itu. Yang penting aku harus menolong gadis malang ini sekarang juga.
Kurasakan genggamannya semakin melemah. Tangannya terasa lebih kasar dari sebelumnya dan terlihat seperti menghitam. Kuharap ini hanya kesalahan pada penglihatanku saja. Sepertinya mataku tidak berfungsi di tengah kegelapan.
Aku kemudian memegang tangannya dengan tangan kananku—tanpa melepaskan genggamannya pada tangan kiriku.
Tangan ini… hangus.
Aku melangkah mundur dengan spontan setelah memastikan bahwa tangan itu memang menghitam karena hangus. Aku tidak paham apapun. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan gadis itu. Tangan yang tadi menggenggam tanganku kemudian jatuh—seperti halnya balok hangus yang terjatuh dengan sendirinya karena api membuatnya makin rapuh.
Apa ini masih kesalahan pada penglihatanku?

“TOM!” teriak seseorang dari luar sana. Suara langkah yang mengiringi teriakan itu terdengar semakin dekat.
Aku keluar dari kamar itu dengan penuh waspada. Kemudian terlihatlah seseorang yang sedang berlari ke arahku sambil menyorotku dengan senternya. Awalnya aku tidak begitu tahu rupanya setelah ia akhirnya berhenti tepat di hadapanku.
“Oh, Emmy...” sahutku dengan lega setelah melihatnya lebih dekat.
Baiklah, sepertinya aku tidak akan membicarakan pada siapapun tentang apa yang kualami barusan. Sudah cukup banyak hal yang mengejutkan di hari ini.
“Cepat kemari!” ia kemudian berlari kembali menuju ke rumahku. “Kau dengar jeritan tadi?”
“Y—ya. Memangnya ada apa?” tanyaku sambil berlari mengikutinya dari belakang.
“Itu Marly. Dia sedang di kamarnya dan tiba-tiba menjerit. Saat aku menghampirinya, ia sudah jatuh pingsan,” tutur Emmy dengan napas yang terdengar tidak beraturan, “pasti ada sesuatu yang dilihatnya sebelum itu!”
“Di mana dia sekarang?”
“Masih di kamarnya. A—apa aku harus menelpon Ambulans?”
“Kita coba bangunkan dulu...” ujarku sambil membuka pintu kamar Marly.
Kami kemudian mendapati Marly yang sedang duduk di atas tempat tidurnya. Sepertinya ia akan baik-baik saja.
Sekali lagi aku bisa bernapas lega.

“Ah, kau baik-baik saja?” tanya Emmy sambil menghampiri Marly.
Ia hanya mengangguk sambil tersenyum kecil.
“Ada apa?” tanyaku sambil bersandar pada tiang pintu.
“Aku melihat hantu gadis kecil,” jawab Marly tanpa menoleh ke arahku. “Ia akhirnya muncul kembali setelah 5 tahun lamanya tak terlihat.”
Kedua keningku mengkerut saat mendengar perkataan Marly, “Muncul kembali? Apa yang kau bicarakan?”
“Sewaktu kecil, kau sering tidur berjalan seperti Eddie. Dan anehnya, kau selalu berbicara, tertawa, serta bermain bola sendiri. Ternyata kau tidak sendiri. Sesosok hantu dengan wujud gadis kecil selalu di sampingmu. Bermain dan bercanda bersamamu,” jelas Marly dengan tampang serius, “aku tahu itu karena aku melihatnya sendiri. Aku melihat gadis itu sedang tertawa bersamamu dari balik jendela rumah. Saat aku keluar untuk memastikan apa yang barusan kulihat, ternyata tidak ada siapapun di sebelahmu. Hanya kau yang sedang tertawa sendiri.”
“Apakah itu sebelum—” Emmy tampak ragu untuk melanjutkan pertanyaanya.
Marly mengangguk tanda mengerti. Ia kemudian menjawab dengan spontan, “Ya, sebelum Tom masuk sekolah dasar.”
“Ka—kau bercanda, kan?” tanyaku pada Marly. Jelas saja aku tidak percaya. Aku tidak ingat apapun yang berhubungan dengan ceritanya.
“Tom, seiring berjalannya waktu, kau semakin dewasa dan semakin kehilangan ingatan soal gadis itu. Saat masuk sekolah dasar, kau akhirnya menemukan banyak teman. Termasuk Emmy. Hal itu membuat kau selalu bermain dengan teman-teman baru dan semakin melupakan teman hantumu itu.”
Aku terdiam. Ku tundukkan kepalaku sejenak untuk mengingat sesuatu tentang hantu itu. Tapi tetap saja aku tidak dapat mengingat satu hal pun.
Kurasakan tangan Emmy menyentuh pundakku. Aku akhirnya kembali menoleh ke arah Marly seolah meminta kepadanya untuk melanjutkan cerita itu.
“Sampai di suatu hari saat kau sedang bermain lempar tangkap bersama Emmy—”
“Ah, saat aku tidak sengaja melempar bola dengan keras sehingga masuk ke dalam hutan, bukan?” potong Emmy dengan spontan.
“Dan aku berlari mengejar bola itu?” sambungku dengan ragu.
“Kau sudah mengingatnya!?” seru Emmy sambil berbalik ke arahku.
“Aku memang mengingat itu. Tapi aku tidak ingat apapun saat aku telah berada di dalam sana.”

“Kau memang tidak ingat soal itu. Karena hutan itu ada hubungannya dengan teman hantumu,” Marly lalu menarik napas sejenak sebelum melanjutkan. “Beberapa saat kemudian setelah kau masuk ke dalam hutan itu, Emmy memanggilku dan melaporkan bahwa kau tak kunjung keluar dari sana. Aku kemudian berlari masuk ke hutan itu. Dan akhirnya kutemukan kau yang sedang terbaring di bawah pohon bersama sesosok gadis hantu yang berdiri di sebelahmu. Gadis itu kemudian tersenyum manis ke arahku dan menghilang secara perlahan.”
“Sejak kejadian itu, kau menjadi pendiam, penyendiri, dan pemurung. Akhirnya aku lebih sering mengajakmu bermain sehingga kau dapat melupakan semuanya,” tambah Emmy sambil tersenyum kecil ke arahku.
Aku mulai merasa bahwa gadis hantu itu ada hubungannya dengan apa yang kulihat barusan di rumah sebelah.
“Aku sempat sangat ketakutan dan pergi mencari seseorang yang ahli di bidang ini. Tuan James,” sahut Marly sambil sedikit tersenyum. “Aku tahu itu adalah hal bodoh. Kulakukan itu karena aku bingung harus kemana lagi.”
“Dan… apa yang kau dapat?” tanyaku.
“Tuan James menjelaskan tentang reinkarnasi jiwa pada saat itu. Itu adalah satu-satunya cara bagi para arwah penasaran untuk mendapatkan kesempatan hidup kembali dan bisa membalaskan dendam mereka. Caranya dengan membawa tubuh seorang anak kecil dengan batasan usia sampai 12 tahun di tempat mereka mati. Mereka kemudian menarik paksa jiwa tumbal mereka itu dan mengambil jasadnya. Setelah itu, jiwa pemilik asli jasad itu menjadi tidak ada atau tidak pernah terlahir ke dunia ini.”
“Jadi… kematian dari arwah penasaran yang telah memiliki jiwa baru itu menjadi tidak pernah ada pula?” tanya Emmy sambil mengkerutkan kedua keningnya.
Aku tidak sepenuhnya percaya dengan apa yang dikatakan Marly. Itu gila. Hantu? Reinkarnasi? Merebut jasad manusia?
Omong kosong.
“Ya, jadi bisa di bilang seperti itu,” jawab Marly yang kemudian menatapku, “dan itu membuatku yakin bahwa di bawah pohon dimana aku menemukan Tom itu adalah tempat terbunuhnya—”

Tiba-tiba saja listrik mati. Sepertinya kami akan melanjutkan pembicaraan ini nanti.Seiring dengan itu, aku mendengar suara aneh yang berasal dari lantai atas.
“Kalian mendengar itu?” tanyaku sambil melirik ke arah Marly dan Emmy.
“Mendengar apa?” mereka mengembalikan pertanyaan secara bersamaan.
“Ah, Emmy! Mana senter yang tadi kau gunakan?”
“Di ruang tengah. Tadi aku langsung melemparnya ke sofa…” jawabnya sambil berjalan keluar kamar.
Aku mengikutinya dari belakang sambil menerangi jalannya—lagi-lagi dengan menggunakan penerangan dari layar ponselku.
“Ini dia!” sahutnya setelah mendapatkan senter itu.
Aku segera merebut senter itu dan kemudian berlari menuju ke lantai atas. Aku mulai menyenter satu-persatu ruangan yang berada di sana.
Pemeriksaan terakhir, kamar Eddie. Saat aku membuka kamar itu, ternyata kosong. Aku menoleh ke arah jam dinding yang terletak di sana. Tepat pukul 11 malam. Ini sudah lewat jam tidurnya.
“KYAAAA!” terdengar jeritan yang sama seperti saat aku berada di rumah sebelah. Tapi rasanya jeritan yang ini terdengar lebih keras.
Ah, kumohon jangan ada yang pingsan lagi…
“Ada apa!?” teriakku dari depan kamar Eddie sambil menyenter ke bawah. Ada Emmy yang tampak pucat di sana.
“Ada seseorang! Di—di sebelahmu!”
“Heh!?” aku terkejut saat mendapati Eddie yang tengah berada di sebelahku. “Tidak apa, Emmy! Ini hanya Eddie. Lagi-lagi ia tidur berjalan…”
“Oh, ma—maaf, kupikir—”
“Tidak masalah,” potongku sambil merangkul Eddie dan membawanya kembali ke kamar.

Aku lalu berdiri dan memutuskan untuk kembali ke kamar Marly setelah mengembalikan Eddie ke tempat tidurnya. Akan tetapi, tiba-tiba saja Eddie terbangun dan menarik bajuku dengan kuat.
“Tom, kau melihat gadis jahat itu, kan? Kau melihatnya, kan!?” kurasakan tangannya yang gemetar saat menarik bajuku.
“Tidak ada gadis jahat. Kembalilah tidur,” bujukku dengan suara pelan. “Bisa saja itu hanya mimpi burukmu, kan?”
Ya, aku memutuskan untuk tidak melibatkan Eddie dalam hal ini.
“Tapi—”
“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” potongku.
Akhirnya ia kembali memejamkan matanya meskipun agak membuang waktuku untuk menunggu itu.

Setelah memastikan bahwa ia sudah lelap, aku kembali turun.
“Semuanya baik-baik saja?” tanya Emmy yang menyambut dari bawah tangga.
“Ya,” jawabku singkat sambil kembali berjalan menuju kamar Marly.

Tidak lama kemudian, kembali terdengar suara aneh. Kali ini terdengar lebih keras. Seperti ada yang menjatuhkan lemari, memukul-mukul kayu dengan benda yang lebih keras—seperti besi.
Dan lagi-lagi itu berasal dari lantai atas.
“A—apa itu!?” Emmy terkejut. Marly tampak memegang kepalanya seperti sedang menahan sakit.
Aku khawatir dia mulai stress dengan kejadian-kejadian aneh ini.
“Oh, Eddie!” teriakku sambil kembali berlari ke atas dengan senter yang tidak kulepaskan sejak tadi.

Aku baru sadar bahwa Eddie berhubungan erat dengan hal ini. Bisa jadi hantu itu memilih untuk berteman dengan Eddie daripada denganku yang telah bertambah dewasa dan semakin melupakannya. Dan bisa jadi ia juga akan membawa Eddie ke hutan itu.
Itu terdengar gila! Sebelumnya bahkan aku tidak pernah mempercayai tentang hantu atau hal mitos lainnya. Sejujurnya, itu adalah apa yang ada di kepalaku saat ini. Aku sendiri tidak tahu kenapa aku bisa beranggapan seperti itu.

Aku akhirnya sampai di kamar Eddie. Pintunya terbuka. Sudah kuduga, ada yang mengacak-ngacak kamar ini.
“Eddie!” teriakku sambil mencari Eddie yang sudah tidak ada di tempat tidurnya.
Dia menghilang, dan listrik tak kunjung menyala.
“Ada yang melihat Eddie!?” teriakku sambil berlari menuruni tangga.
“A—aku tidak melihatnya…” jawab Marly yang baru keluar dari kamarnya, “ia menghilang?”
“Tom! Pintu depan terbuka!” teriak Emmy sambil berlari ke arah kami, “aku yakin sudah menguncinya tadi!”
“Hutan! Dia di hutan!” teriakku sambil berlari keluar rumah. “Kalian tetap di sini!”
“Ta—tapi, TOM!”
Aku mengacuhkan teriakan Marly dan akhirnya aku mulai memasuki hutan itu kembali setelah sekian lama tidak menginjaknya.

Kepalaku terasa sakit setelah berjalan beberapa langkah. Mulailah muncul satu-persatu gambaran hitam-putih dan terlihat jelas sosok seorang bocah yang tengah berlari mengejar sesosok gadis yang melayang. Gambaran itu datang dan pergi dengan begitu cepat sehingga membuat kepalaku serasa ingin pecah.
Bocah dalam gambaran itu terlihat seperti Eddie. Dengan tinggi, model rambut, dan cara berlari yang sama.
Tapi kurasa bukan dia. Ketakutan Eddie sejak tadi adalah tentang gadis. Tidak mungkin ia mengejar sesuatu yang ia takuti.
Jika kuhubungkan lagi, gadis yang membuat Eddie ketakutan adalah hantu yang pernah menjadi temanku. Sepertinya itu bukan hal yang mustahil.

Gambaran itu kembali muncul di kepalaku. Kali ini terlihat kembali bocah—yang mirip Eddie itu—berhenti di suatu tempat, dan itu tepat di bawah pohon besar. Tubuhnya kemudian terlihat seperti membagi dua. Satu melayang ke atas, satunya lagi jatuh dan terbaring di tanah. Kemudian, mata merah serta bibir pucat dari seorang gadis menyambutnya. Menariknya jauh ke atas sambil tersenyum puas.

Mungkinkah bocah yang mirip Eddie itu adalah…
Aku?

“AAAARGGH!”
Itu terdengar seperti teriakan Eddie.
Kemudian aku kembali berlari mencari sumber teriakan itu. Dan asalnya tepat dari bawah pohon besar di depan sana.
Dugaanku benar.
“Eddie!” teriakku sambil menepuk pundaknya. Kemudian tubuhnya jatuh tepat di hadapanku.

“Enyahlah!” suara itu terdengar seperti bisikan halus yang ditujukan kepadaku. Akhirnya aku jadi ingat bahwa dulu, suara ini yang selalu menemaniku tiap saat.
“Tak kan kubiarkan kau membunuh adikku!” teriakku.
“Bersyukurlah karena bukan kau yang kubunuh…” ucapnya dengan dingin.
“Kau tidak nyata! Kau fiksi! Untuk apa kau mengambil jiwa bocah yang tidak berdosa seperti dia!?”
“Kau yakin bahwa aku ini tidak nyata, Tom?” bisiknya lagi dengan nada yang sangat datar. “Aku tidak peduli bocah ini berdosa atau tidak. Aku hanya membutuhkan jasadnya!”
Sejenak pandanganku menjadi kosong. Aku membaringkan Eddie ke tanah, dan aku berdiri seolah menanti kemunculan gadis hantu itu di hadapanku, “Kau ingin balas dendam? Pada siapa?”

Sesosok gadis tiba-tiba muncul di hadapanku. Wajahnya tanpa ekspresi. Ia terdiam sejenak sambil menatapku dengan dingin.
“Siapa yang membuatmu menjadi seperti ini?”
“ELLIS! PEMBUNUH KELUARGAKU! 17 TAHUN LAMANYA AKU MENUNGGU UNTUK SAAT-SAAT SEPERTI INI!” teriaknya dengan histeris.

Tiba-tiba terdengar sesuatu seperti langkah kaki seseorang yang berlari. Aku mengarahkan senter ke arah suara itu terdengar. Ada seseorang di sana. Kemudian orang itu menatapku dan gadis hantu itu dengan terkejut.
Dia adalah Nyonya Ellis, wanita tua itu. Ia berjalan pincang dengan banyak balutan perban di wajah serta anggota tubuhnya.
Beberapa saat kemudian, ia berlutut seolah menyesal sambil mengayunkan sebuah pisau kecil namun panjang—yang biasa terlihat di rumah sakit—ke tubuhnya sendiri.
“HEI, JANGAN!” teriakku dengan spontan sambil berlari ke arahnya.
Dan aku terlambat. Ia sudah menancapkan pisau itu ke tubuhnya sendiri. Tepatnya di bagian perut sebelah kiri.
Aku mendekatinya, memegang pergelangan tangannya. Ia sudah mati.
“Dengar! Apapun yang telah dilakukannya, DIA SUDAH MENYERAHKAN DIRI! BERLUTUT SAMBIL MENGAKHIRI HIDUPNYA TEPAT DI HADAPANMU!” teriakku sambil berbalik ke belakang.
Dan ternyata gadis hantu itu sudah menghilang.

“A—ada apa, Tom? Di mana kita?” Eddie tiba-tiba terbangun dan bertanya dengan tampang polos.
Aku menghela napas panjang sebelum menjawabnya, “Hutan di belakang rumah. Kau tidur berjalan lagi, bocah!” sahutku seolah tidak terjadi apa-apa. “Ayo kita pulang. Kau kedinginan, bukan?”

***

Keesokan harinya, aku melaporkan tentang jasad gadis kecil yang terbakar hangus di dalam rumah Nyonya Ellis. Ternyata jasad itu telah diawetkan selama lebih dari 17 tahun. Aku juga melaporkan tentang bunuh diri yang dilakukan wanita tua itu.
Para detektif juga mengatakan bahwa 17 tahun yang lalu ada pembunuhan di dalam hutan itu. Hanya 2 mayat yang mereka temukan, dan mereka kehilangan jejak sang pembunuh. Kata mereka, salah satu dari mayat itu adalah merupakan anak dari Nyonya Ellis.
Dengan menemukan mayat gadis kecil yang diawetkan di rumah wanita tua itu, sempurna sudah penyelidikan mereka. Tentunya dengan menetapkan Nyonya Ellis sebagai pelaku. Mereka juga tahu bahwa Nyonya Ellis bermaksud membakar rumahnya, mayat cucunya, sekaligus dengan dirinya pada waktu itu karena ia mulai frustasi.

Satu hal yang masih membuatku bingung sampai saat ini. Yakni, mengapa aku masih hidup? Apa alasan gadis itu untuk memberi ampun pada mantan kawannya yang saat itu hampir melupakannya?
Sepertinya ia terlalu baik untuk mengambil jasad seseorang.

***

Gambaran hitam-putih kembali hadir di kepalaku.Terlihat jiwa bocah itu melayang semakin tinggi. Sampai akhirnya ia menoleh ke atas dan menatap sesosok gadis yang tengah menariknya.
Bocah itu kemudian tersenyum dan berkata, “Apa kabar, teman lama?”

Sekilas semuanya menjadi hitam. Dan pertama kali yang terlihat di sana adalah sosok Marly. Marly membangunkan bocah itu, dan kemudian membawanya pulang.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments